Oleh : Luvia
Chrismonita
senandung anak
mentari
Arif
adalah anak kecil berusia 12 tahun yang hidup di tengah-tengah kondisi yang
mungkin bisa dibilang serba kekurangan. Ayah Arif adalah seorang nelayan.
Sementara ibunya seorang buruh cuci. Penghasilan per-hari pun tak seberapa. Hanya
cukup untuk sekedar membeli beras bakal nasi dan berlaukkan garam. Bahkan tak
jarang mereka pun rela tak makan. Demi apa?. Demi pendidikan anak mereka.
Kemauan, keteguhan dan sifat Arif yang rajin, membuat orang tuanya merasa tak
tega untuk mematahkan mimpi sekaligus cita-citanya. Mimpi yang sering ia
ceritakan kepada orang tuanya bahwa ia sangat ingin menjadi seorang arsitek.
Pagi
hari Arif selalu bersemangat menjemput ilmu dibalik mentari, ditangan kanannya
ia menenteng tas yang ia buat sendiri dari karung goni. Tas tersebut berisikan
buku-buku usang namun penuh akan ilmu. Sementara ditangan kirinya ia
mencengkram erat sumber rejeki tambahan untuk keluarganya. Sepulang sekolah biasanya
ia tak akan langsung pulang ke rumah sederhananya. Namun ia akan memungut
rejekinya terlebih dahulu di jalan raya dengan cara berjualan koran. Tentu uang
yang Arif hasilkan tak sebanyak pendapatan seorang koruptor. Meskipun sedikit
namun Arif tetap mensyukurinya, karena ia yakin sedikit uang tapi halal akan
lebih bermanfaat dibandingkan dengan banyak uang tapi didapat dengan cara tak
halal.
Mentari
siang bolong tentu terasa menyengat selaksa ingin membakar kulit tipis bocah 12
tahun yang sedang berjuang demi membantu kedua orang tuanya. Namun semangat
Arif tak mudah terpatahkan hanya dengan sengat mentari siang itu. Setiap hari
Arif selalu mengalah dan berkawan dengan Sang Mentari, jadi sengatnya pun
menjadi kawan baginya.
Suara
merdunya menyerukan asa yang tertambat pada sebuah pengharapan disetiap
exemplar Koran yang ia jual. “Korannn..koran...”. Dan tak jarang ia juga
sedikit bersenandung tentang mimpi dan asanya dijalanan bahkan tak jarang
orang-orang mengira ia seorang pengamen bersuara berlian. Sebagian dari mereka
memberikan uang tanpa meminta korannya. Padahal Arif bukan pengamen. Tentu Arif
menolak dan tetap memberikan Koran kepada orang yang memberinya uang. Tanpa
menghiraukan kulit sawo matangnya yang kini berubah menjadi kehitaman karena
sengat matahari, ia terus menawarkan kesana kemari Koran dagangannya sambil
bernyanyi lagu yang ia buat. Namun lagu yang ia senandungkan itu belum berjudul.
Senantiasa ia Menyusuri trotoar, dan
mengitari mobil dan motor yang berhenti di lampu merah jalanan kota menawarkan
Koran-korannya kepada calon pembeli.
Hari
ini memang tak seluruh korannya laku terjual. Namun setidaknya sedikit rejeki
hari ini bisa membantu mengenyangkan perutnya dan keluarganya. Sisa Koran hari
ini akan ia kembalikan pada sang juragan, sekaligus membagi hasil jualannya.
Dan tak lupa ia meminta kepada sang juragan untuk mengampirkan Koran edisi esok
hari pada saat sang juragan hendak ke lapak yang melewati rumah Arif esok pagi.
Rejeki
Arif hari ini tak seberapa. Namun tak pernah Arif melewatkan rasa syukurnya.
Tujuh ribu rupiah adalah rejekinya hari ini. Uang itu akan sepenuhya ia
serahkan pada ibunya. Hatinya ikhlas, senang dan bangga ketika ia bisa membantu
ayah ibunya mencari tambahan penghasilan untuk hidup mereka bersama-sama.
Setelah
selesai berjualan dan pulang kerumah, Arif tak lantas tidur untuk melunturkan
rasa letihnya. Ia segera berganti pakaian dan membantu ayahnya menjahit pukat
penangkap ikan milik ayahnya yang telah bolong-bolong termakan usia dan
tersangkut oleh benda-benda laut. Tangan-tangan mungil Arif telah terbiasa
merajut dan memperbaiki pukat yang memang setiap hari terdapat lubang baru.
Sebenarya Arif pun ingin sekali ikut ayahnya melaut untuk menjaring ikan. Namun
apa daya, ayahnya tak memberinya ijin. Selain itu ia juga merasa berat jika
harus datang terlambat ke sekolah, karena perahu rombongan ayahnya selalu
pulang di pagi hari.
Kemauan
Arif untuk terus bersekolah menjadi motivasi untuk ayahnya dan ibunya untuk tak
patah semangat memeras keringat dan membanting tulang agar anak kebanggaan
mereka bisa bersekolah.
Di
sekolah Arif dikenal sebagai siswa yang sangat pandai dan supel. Ia selalu
mendapat peringkat pertama dikelas. Di saat teman-temannya yang lain asik
bermain dan hanya memikirkan kesenangan, Arif sudah bekerja keras untuk sedikit
membantu ekonomi keluarganya . Namun ia tetap tak meninggalkan kewajibannya
sebagai siswa yaitu belajar. Arif selalu bersemangat dan rajin untuk belajar. Sesudah
ia membantu orang tuanya, ia selalu meluangkan waktunya disela-sela rasa
letihnya seharian. Tak heran ia selalu menjadi juara kelas.
Usaha
tanpa doa ibarat mendayung tanpa sebuah dayung. Semua usaha tak kan berbuah
maksimal tanpa diiringi doa. Selain pandai Arif pun juga dikenal sebagai anak
yang sholeh. Tak pernah sekali pun ia meninggalkan Sholat yang menjadi
kewajibannya sebagai seorang Muslim. Setelah Sholat ia selalu mendoakan orang
tuanya, dan pastinya ia berdoa kepada Allah agar cita-citanya tercapai.
Hobi
Arif sendiri adalah bernyanyi. Suaranya sangat merdu. Dengan bernyanyi pula ia
bisa mendapat hiburan tak berbayar. Jika sempat sore hari ia biasa bernyanyi di
depan rumahnya. Menyenandungkan isi hatinya dihadapan mentari sore yang hendak
bersembunyi di hujung pandangan. Tetangga yang mendengar senandung Arif
menyebut senandung itu sebagai “NYANYIAN ANAK MENTARI”. Bernyanyi membuat ia
jauh lebih bersemangat untuk menyambut hari esok yang penuh dengan tantangan.
Arif
berjanji kepada dirinya sendiri jika ia akan menjadi orang yang sukses dengan
usaha yang teriringi doa serta dukungan dari orang tuanya. Arif pun berjanji
bahwa ia tak akan berhenti bersenandung .
Hari
demi hari, serta tahun demi tahun ia lewati dengan penuh usaha dan Doa. *12
Thun kemudian* Kini Arif menjadi orang sukses. Ia pun berhasil meraih
cita-citanya sebagai pilot. Seorang anak mentari yang tak pernah berhenti
bermimpi…..
Tiada ulasan:
Catat Ulasan